Sejarah Perenungan Mengenai Akhir Hayat-Nya di Dunia dalam Literatur Tafsir Suni

(Makalah asli disampaikan dalam bahasa Arab kepada

Suatu Forum di Universitas Al Azhar, Mesir)

Joseph L. Cumming

Yale University

Mei 2001

[email protected]

   Apakah Yesus (Isa Al Masih) wafat di kayu salib lalu bangkit dari kematian? Pertanyaan ini punya daya yang luar biasa untuk membangkitkan diskusi yang bersemangat antara orang Muslim dan Kristen. Sebagaimana dijelaskan seorang penulis kontemporer, “Haadhaa al-maw¼uuÿ yuthiiru jadaliyyat al-Islaam ka-maa lam yuthirhaa ayyu maw¼uuÿ aakhar.”[1] Ya, manakala orang Muslim dan Kristen mendiskusikan perkara-perkara agama, agaknya cepat atau lambat topik percakapan selalu beralih kepada pertanyaan tersebut. Hal itu mungkin tidak mengejutkan kalau mengingat sejarah eksploitasi Perang Salib terhadap salib sebagai simbol agama. Dari tanda yang menyerukan agar orang Kristen menyerahkan nyawanya bagi orang lain karena kasih,[2] salib telah diubah menjadi tanda kesiapan orang Kristen untuk membunuh orang lain karena tujuan-tujuan yang egois.

Diskusi tentang penyaliban Yesus umumnya berakhir dengan salah satu dari dua hal: 1) usaha masing-masing pihak untuk meyakinkan lawan diskusinya bahwa “kamilah yang benar dan kalian yang salah,” atau 2) keputusan santun “setuju untuk tidak setuju.” Dalam kasus mana pun, anggapannya adalah: tidak ditemukan dasar bersama sehubungan dengan pertanyaan tersebut. Adalah tujuan makalah ini untuk mempertanyakan anggapan itu. Secara khusus makalah ini akan mengupayakan penyelidikan yang simpatik terhadap tradisi Islam untuk melihat kemungkinan-kemungkinan jawaban bagi pertanyaan tersebut yang ada secara historis dalam komunitas Muslim. Kita akan melakukannya dengan menyelidiki ayat-ayat Al Quran yang mendasari diskusi tersebut, dan sejarah tafsiran Suni arus utama terhadap ayat-ayat ini. Suatu projek terpisah (mungkin harus dilakukan seorang sarjana Muslim?) perlu memeriksa tradisi Kristen dengan cara simpatik yang serupa lalu mempertimbangkan dasar bersama yang mungkin dihasilkan dari kedua studi itu.

            Barangkali pandangan yang paling terkenal di dunia Muslim hari ini tentang pertanyaan tersebut adalah: Allah membuat orang lain (seorang pengganti) tampak seperti Yesus, dan pengganti itu disalibkan sebagai ganti Yesus, sementara Allah secara langsung mengambil Yesus ke surga hidup-hidup. Pandangan yang kurang terkenal, namun dipegang secara luas juga, adalah: Yesus memang dipakukan ke kayu salib, tetapi ia hanya kehilangan kesadaran di kayu salib dan akhirnya bangun kembali dalam makam. Pandangan ini, yang menjadi populer akibat tulisan-tulisan polemik Ahmed Deedat, paling lazim didapati di Asia Selatan hari ini. Kenneth Cragg mencatat:

Gerakan Ahmadiyah dan Qadiani di Asia Selatan memegang pandangan berikut: “Yesus [dipakukan ke kayu salib] kemudian diturunkan, masih hidup, dan dibaringkan dalam makam yang dingin. Jadi, mereka tidak berhasil membunuh dia dengan penyaliban. Ia bangun kembali dalam makam, meloloskan diri, dan belakangan pergi ke timur, meninggal dalam usia lanjut di Kashmir. Di sana, dekat Srinagar, makamnya masih bisa dilihat.”[3]

            Kedua pandangan itu (pengantian dan kehilangan kesadaran) punya dukungan bersejarah dalam tradisi takwil (eksegesis) Islam, begitu juga sejumlah pandangan lainnya. Perenungan Islam mengenai pertanyaan tersebut secara historis berpusat pada takwil terhadap ayat-ayat tertentu dalam Al Quran. Meskipun pernyataan sesekali tentang pokok bahasan itu dapat ditemukan dalam genre-genre lain, seperti Rasª’il dari Ikhwªn al-Safª,[4] diskusi Islam yang paling berpengaruh mengenai pertanyaan tersebut harus ditemukan dalam literatur tafsir. Upaya melakukan analisis ensiklopedis terhadap semua ulasan Islam mengenai pokok bahasan ini berada di luar lingkup makalah ini. Dalam bahasan berikut kita akan berfokus pada ulasan-ulasan tradisi Suni arus utama yang paling berpengaruh. Secara khusus akan kita selidiki ulasan-ulasan ath-Thabari, Fakhr al-DÌn al-RªzÌ, al-QurðubÌ, al-Bay¼ªwÌ, and Sayyid Quðb.

Ulasan-ulasan ini menghadapi pertanyaan tentang kematian Yesus dalam konteks penakwilan empat ayat tertentu dari Al Quran. Di sini saya daftarkan terjemahan ayat-ayat tersebut dengan peringatan: “Sebagaimana setiap terjemahan perlu mempratimbangkan hasil dari [proses takwil], semua yang dicantumkan di sini harus dibaca sebagai sesuatu yang bersifat tentatif dan tunduk kepada perubahan dengan mengingat tradisi ulasan yang penuh.”[5]

Aali ’Imraan (3):55: [Allah berfirman]: “Hai Isa, Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika] dan mengangkatmu kepada-Ku, dan menyucikanmu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas mereka yang kafir hingga hari kiamat.

Idz qaalallaahu yaa ’iisaa innii mutawafiika wa raafi’uka ilayya wa muthahhiruka minal ladziina kafaruu wa jaa’ilul ladziinat taba’uuka fauqal ladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamati.

an Nisaa‘ (4):157: perkataan [orang Yahudi]: “Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah.” Mereka tidak membunuhnya, dan mereka tidak menyalibnya, tetapi hal itu dibuat tampak demikian bagi mereka [syubbiha lahum]. Dan orang-orang yang berselisih paham tentang hal itu memang dalam keraguan mengenainya: mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, tetapi hanya mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak membunuhnya dengan yakin.

Wa qaulihim innaa qatalnal masiiha ’iisabna maryama rasuulallaahi wa maa qataluuhu wa maa shalabuuhu walaakin syubbiha lahum wa innal ladziinakh talafuu fiihi lafii syakkim minhu maa lahum bihii min ’ilmin illat tibaa’azh zhanni wa maa qataluuhu yaqiinaa.

al Maa-idah (5):117: [Isa berkata kepada Allah]: “Aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka, dan ketika Engkau ‘mewafatkan’ [tawaffaitanii] aku, Engkaulah Pengawas mereka, dan Engkaulah Saksi terhadap segala sesuatu.”

Wa kuntu ’alaihim syahiidam maa dumtu fiihim fa lamma tawaffaitanii kunta antar raqiiba ’alaihim wa anta ’alaa kulli syaiin syahiid.

Maryam (19):33: [Isa bersabda]: “Keselamatan atasku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku mati [amuutu], dan pada hari aku dibangkitkan [ubÿatsu] hidup.”

Was salaamu ’alayyaa yauma wulittu wa yauma amuutu wa yauma ub’atsu hayyaa.

Banyak diskusi takwil berfokus pada terjemahan yang tepat dari kata kerja tawaffaa, yang telah saya terjemahkan menurut pengertian paling umum[6] (“wafat”) sambil menaruhnya dalam tanda kutip untuk mengisyaratkan bahwa kata tersebut dapat dipahami dengan cara-cara lain. Untuk tawaffaa Rudi Paret membuat usulan yang menarik, “abberufen”,[7] yang sayangnya sulit juga diterjemahkan secara alami ke dalam bahasa Inggris, meskipun memiliki konotasi ambigu “call away” (“dipanggil pulang”).

Dalam rujukan kepada tradisi ulasan mengenai ayat-ayat itu, Roger Arnaldez mengungkapkan pendapat berikut:

On voit que les commentaires sont loin de concorder. En particulier, la question se pose de savoir quand il faut situer la mort de Jésus. S’agit-il d’une mort au terme d’une vie humaine normale, ou d’une mort qui n’aura lieu que vers la fin des temps, quand viendra l’Heure dernière? Est-ce une mort véritable, ou une sorte de dormition? Et si c’est une mort véritable, coïncide-t-elle avec l’élévation au ciel, ou y a-t-il un intervalle entre les deux? Tous ces points ont été soutenus.[8]

Dalam bahasan berikut kita akan melihat apakah tradisi ulasan memang seberagam yang diusulkan Arnaldez. Kalau memang begitu, saya hendak berargumen bahwa keragaman tafsiran yang sedemikian luas tidak boleh dilihat sebagai tanda kurangnya keselarasan, tetapi sebagai kekayaan warisan takwil.

Ath-Thabari

            Ulasan pertama yang akan kita pertimbangkan adalah karya Abñ Jaÿfar MuÊammad ibn JarÌr Al-£abarÌ (meninggal 310/923). Ulasannya sama sekali bukan yang terawal tentang Al Quran, tetapi yang terawal dari ulasan-ulasan yang masih berpengaruh mendalam dan berjangkauan luas terhadap orang Muslim hari ini. Secara luas ulasan ini dianggap sebagai “af¼al al-tafaasiir al-ma’thuura al-jaamiÿa li-aqwaal al-salaf  fiial-tafsiir[9] – contoh terutama dari ulasan yang menghimpun tradisi dan hadis yang berhubungan dengan tiap-tiap ayat, dan karenanya menyediakan jendela untuk melihat bagaimana Nabi, Para Sahabat, dan Para Pengikut telah menafsirkan nas itu. Meskipun banyak isnadnya yang tidak sempurna atau tidak lengkap (dan ath-Thabari mengetahui hal ini), tradisi-tradisi yang dilaporkan ath-Thabari sedikitnya memberikan petunjuk tentang luas dan beragamnya takwil Islam yang dihormati pada abad ketiga hijriah.

Meskipun penghimpunan tradisi-tradisi takwil awal menjadi jantung karya ath-Thabari, para sarjana yang mempelajari ulasannya lekas menambahkan bahwa ia tidak boleh dicap sebagai orang yang hanya mengumpulkan perkataan yang diriwayatkan komunitas Muslim awal dan tidak lebih. Baru-baru ini seorang editor ulasannya menulis:

§alama baÿ¼uhum haadhaa al-tafsiir kathiiran ÿindamaa jaÿaluuhu tafsiiran bi-l-ma’thuur faqað wa-îannafuuhu fÌ madrasat al-tafsiir al-atharii. Huwa tafsiir bi-l-ma’thuur wa-ziyaada wa-huwa yuîannafuu ¼imna madrasat al-tafsiir al-atharii al-naýarii al-latii tajmaÿu bayna iiraad al-aqwaal al-ma’thuura wa-bayna al-naýaraat wa-l-ijtihaadaat wa-l-istinbaaðaat, wa-l-latii abdaÿa al-£abarii fiihaa ayyamaa ibdaaÿ.[10]

            Ketika menghadapi ayat-ayat yang terbuka kepada banyak tafsiran, sering kali ath-Thabari mendaftarkan secara berurutan masing-masing pilihan yang terwakili dalam tradisi-tradisi yang diketahuinya. Kemudian, setelah mendaftarkan semua pilihan yang sah itu, ia sering menyebutkan mana di antara semua itu yang dianggapnya “raajiÊ” – paling mungkin, atau memiliki bukti pendukung yang lebih besar.

Dalam diskusinya mengenai arti mutawaffii dalam Aali ’Imraan (3):55 kita melihat contoh diskusi macam itu. Ath-Thabari menyatakan:

Para ahli takwil [ahl al-ta’wiil] berbeda pendapat mengenai arti “wafat” [wafaat] Isa di sini:

  1. Sebagian dari mereka berkata: “‘Wafat [wafaat] dalam arti tidur.” Bagi mereka artinya adalah “Aku membuatmu tidur [mutawaffiika] dan mengangkatmu kepada-Ku dalam tidurmu.” [Ath-Thabari berlanjut dengan menuturkan tradisi-tradisi yang mendukung tafsiran ini.]
  2. Yang lain berkata, “‘Wafat’ [wafaat] di sini dalam arti mengambil [qab¼].” Artinya: “Aku mengambilmu dari bumi dan mengangkatmu kepada-Ku.” Orang biasa berkata: “Aku menarik [tawaffaitu] dari si Polan uang utangnya kepadaku.” Maksudnya, aku menerimanya dalam jumlah penuh [istawfaituhu] dan aku mengambilnya [qaba¼tuhu]. Jadi, arti firman-Nya “Aku ‘mewafatkanmu’ dan mengangkatmu kepada-Ku” adalah: Aku mengambilmu dari dunia hidup-hidup untuk dekat kepada-Ku, dan membawamu untuk bersama-Ku tanpa wafat, dan mengangkatmu dari antara orang kafir. Ibn Zayd berkata: “Aku ‘mewafatkanmu’” berarti “mengambilmu” ketika Isa belum wafat, sehingga ia dapat membunuh Dajal, dan setelah itu barulah wafat. Ia membaca firman Allah “Ia akan berfirman kepada orang dalam buaian dan sebagai manusia dewasa [kahlan]” dalam arti Allah mengangkat dia sebelum ia dapat berbicara kepada orang sebagai manusia dewasa, dan ia akan kembali ke bumi sebagai manusia dewasa. [Ath-Thabari berlanjut dengan menuturkan tradisi-tradisi yang mendukung penafsiran wafaat dalam arti qab¼.]
  3. Yang lain berkata, “‘Wafat’ [wafaat] artinya wafat mati yang hakiki [wafaat mawt Êaqiiqiyya], yakni, “Aku benar-benar ‘mewafatkanmu’ [mumiituka].” [Ath-Thabari berlanjut dengan menuturkan tradisi-tradisi yang mendukung tafsiran ini.]
  4. Yang lain berkata bahwa ayat ini mengandung pengaturan kata yang tidak kronologis [taqdiim wa-ta’khiir]. Simpulannya adalah: Aku mengangkatmu kepada-Ku dan menyucikanmu dari orang-orang kafir, dan Aku akan mewafatkanmu setelah aku mengutusmu kembali ke bumi pada akhir zaman. [Ath-Thabari berlanjut dengan menuturkan tradisi-tradisi yang mendukung tafsiran ini.]

Dan yang paling baik didukung [raajiÊ] adalah pernyataan kedua: “Aku mengambilmu [qaabi¼uka] dari bumi dan ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika].” Ini yang paling baik didukung [raajiÊ] karena kesinambungan penerusan [tawaatur] laporan dari Utusan Allah (saw.) tentang kembalinya Isa a.s. ke bumi pada akhir zaman.[11]

            Jadi, ath-Thabari mendaftarkan empat teori tafsiran yang ditemukannya dalam tradisi-tradisi takwil Islam sebelum masa hidupnya: 1) tidur, 2) wafaat = qab¼, 3) kematian benaran, dan 4) pengaturan kata yang tidak kronologis. Jelas bahwa ia memandang teori kedua paling baik didukung dalam tradisi-tradisi yang diketahuinya. Tetapi jelas pula bahwa ia mengakui keempat teori itu memiliki dukungan yang sah dalam tradisi-tradisi takwil Islam terhadap nas tersebut. Teori “tidur” mungkin mendasari pandangan masa kini yang dicatat pada halaman 2 di atas tentang Yesus kehilangan kesadaran di kayu salib dan bangun kembali dalam makam.

            Dalam diskusinya mengenai an Nisaa‘ (4):157, ath-Thabari memperkenalkan teori penggantian (yang juga kita catat pada halaman 2 di atas). Dalam diskusi ringkasnya mengenai Aali ’Imraan (3):54, tepat sebelum diskusi mengenai Aali ’Imraan (3):55 yang dikutip di atas, ia menyinggung teori penggantian secara amat ringkas. Tetapi ketika merujuk kepada perkataan “syubbiha lahum” dalam an Nisaa‘ (4):157, barulah dijelaskannya teori itu secara terperinci.

Di sini pun ia mengetahui tradisi-tradisi yang mendukung banyak teori untuk menafsirkan ayat tersebut. Ia menulis:

Bagaimana Allah menampilkan Isa kepada mereka? Para ahli takwil berselisih paham mengenai cara penampilan yang ditampilkan kepada orang Yahudi dalam perkara Isa a.s.[12]

Mengikuti sistem yang sama dengan sebelumnya, ath-Thabari kemudian mendaftarkan banyak teori tentang cara terjadinya “menampilkan” itu. Ia mengetahui tradisi yang beranggapan bahwa Allah membuat penampilan Yesus turun ke atas semua muridnya [hawaariyyuun], sehingga orang Yahudi tidak mengenali Yesus yang sebenarnya di antara mereka. Ath-Thabari  juga mengetahui tradisi yang beranggapan bahwa Yesus meminta seorang relawan dari antara muridnya yang mau menerima penampilan Yesus dan disalibkan sebagai gantinya.

Sama seperti sebelumnya, ath-Thabari kemudian menyebutkan mana di antara teori-teori itu yang dianggapnya paling masuk akal [raajiÊ]. Ia lebih menyukai teori bahwa semua murid dibuat menyerupai Yesus. Alasannya: kalau hanya seorang murid yang dibuat menyerupai Yesus, orang Yahudi mungkin akan bingung, tetapi para murid sendiri tidak akan bingung, dan karenanya orang Kristen setelah mereka tidak akan bingung.

            Dalam diskusinya mengenai al Maa-idah (5):117 ath-Thabari menegaskan kembali pandanganya (yang dinyatakan di atas) bahwa tafsiran paling masuk akal dari tawaffaa adalah dalam arti qaba¼a. Rupanya ia memandang teori penggantian di bawah rubrik teori “wafaat=qab¼.” Dalam diskusinya yang amat ringkas mengenai Maryam (19):33, ia mengulangi bahasa Al Quran tentang kematian dan kebangkitan Yesus, tetapi tidak membahas apakah hal itu memiliki simpulan-simpulan bagi kejadian di kayu salib.

Fakhr al-DÌn Al-RªzÌ

Kalau ath-Thabari dipandang sebagai puncak tafsiir bi-l-ma’thuur, maka ulasan Fakhr al-DÌn al-RªzÌ (d. 606/1210)[13] dipandang luas sebagai puncak tafsiir bi-l-ra’y. Al-Rªzi meninjau berbagai tafsiran yang disebutkan para pendahulunya, dan ia mengutip tradisi-tradisi yang diteruskan dari Nabi, Para Sahabat, dan Para Pengikut. Tetapi berbeda dengan ath-Thabari, ia tidak selalu merasa perlu mengulangi isnad-isnad yang mendukung tradisi-tradisi itu. Dan, setelah meninjau pilihan-pilihan yang tersedia, pikirannya yang “cemerlang, analitis, dan bertanya-tanya”[14] berlanjut mengevaluasi makna penting teologisnya. Sebagai tambahan untuk pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu hadis dan tafsir, al-RªzÌ juga seorang teolog [mutakallim] cemerlang yang memiliki keahlian luas di bidang filsafat dan komitmen kuat untuk membela ortodoksi Ashÿarit terhadap Muÿtazilisme dan mazhab-mazhab lainnya.

Al-RªzÌ megaitkan semua pengetahuan itu dengan diskusinya tentang wafatnya Yesus. Jane Dammen McAuliffe dengan tepat berkata mengenai analisis al-RªzÌ tentang kemungkinan makna mutawaffiika bahwa “kinerjanya tidak kurang dari suatu takwil yang luar biasa.”[15]

Al-RªzÌ mulai dengan membagi metode-metode menakwilkan ungkapan “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffÌka]” (Aali ’Imraan (3): 55) ke dalam kelompok yang tidak menuntut transposisi kronologis [taqdiim wa-ta’khiir] dari “wafat” dan “angkat,” dan kelompok yang memang menuntut transposisi kronologis. Jelas ia lebih menyukai yang pertama (yang disebutnya “pengertian lahiriah dan nyata [ýaahir]”), dan ia membahasnya lebih dahulu. Ia mendaftarkan delapan cara berbeda untuk memahami ungkapan itu dan jelas-jelas menyiratkan bahwa ia menganggap kedelapannya sah:

  1. Makna firman-Nya “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika],” adalah: menuntaskan masa hidupmu [mutammim ÿumrika] dan setelah itu Aku akan ‘mewafatkanmu’ [atawaffaaka]. Aku tidak akan membiarkan mereka sampai membunuhmu, tetapi Aku akan mengangkatmu ke surga-Ku dan membawamu dekat kepada malaikat-malaikatku, dan Aku akan melindungimu sehingga mereka tidak mampu membunuhmu. Ini tafsiran yang baik.
  2. “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika],” yakni, membuatmu mati benaran [mumiituka]. Dan inilah tradisi yang dituturkan berdasarkan kewenangan [marwii  ÿan] Ibn ÿAbbªs dan MuÊammad ibn Isʪq. Mereka berkata: maksudnya supaya musuh-musuh Yahudinya tidak mampu membunuh dia, sehingga setelah itu Ia memuliakan dia dengan mengangkat dia ke surga. Kemudian, ada tiga pengertian yang berbeda dalam pemahaman mereka tentang hal ini: Pertama: Wahb berkata, “Ia wafat [tuwuffiya] selama tiga jam, kemudian diangkat [rufiÿa].” Kedua: MuÊammad ibn Isʪq berkata, “Ia wafat [tuwuffiya] selama tujuh jam, kemudian Allah menghidupkan [aÊyaahu] dia kembali dan mengangkat dia [rafaÿahu].” Ketiga: al-RabÌÿ ibn Anas berkata, “Allah (swt.) mewafatkan [tawaffªhu] dia pada saat Ia mengangkat dia [rafaÿahu] ke surga.” Allah swt. telah berfirman [dalam az Zumar (39):42], “Allah mewafatkan jiwa [yatawaffaa al-anfus] ketika matinya [mawt], dan yang belum mati [lam tamut] dalam tidurnya.” (Allaahu yatawaffal anfusa hiina mautihaa wal latii lam tamut fii manaamihaa)
  3. [Teksnya tidak punya nomor #3 di sini, tetapi langsung melompat dari #2 ke #4, sehingga delapan pilihan dinomori 1-9.]
  4. Dalam tafsiran ayat ini, kata “dan” dalam pernyataan-Nya  “‘mewafatkanmu’ dan mengangkatmu kepada-Ku” memang menunjukkan urutan kronologis. Ayat itu membuktikan bahwa Allah swt. adalah agen yang melakukan tindakan-tindakan itu kepada Isa. Tetapi tentang bagaimana Ia melakukannya dan kapan Ia melakukannya, pertimbangan harus ditangguhkan sampai ada bukti. Yang terbukti jelas adalah: Isa hidup sekarang. Dan sebuah laporan [khabar] berdasarkan kewenangan Nabi saw. menyatakan bahwa Isa “akan kembali ke bumi dan membunuh Dajal.” Setelah itu Allah swt. akan mewafatkan [yawataffaahu] dia.
  5. Satu tafsiran, berasal dari Abñ Bakr al-WªsiðÌ, menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika] terhadap keinginan-keinginanmu dan terhadap pemuasan nafsumu [Êuýuuý nafsika]. Kemudian Ia berfirman “dan mengangkatmu kepada-Ku.” Ini dikarenakan siapa pun yang tidak menjadi binasa dalam hubungan dengan semua yang bukan Allah [man lam yaîir faaniyan ÿammaa siwaa Allaah] tidak akan mencapai tahap [maqaam] pengenalan akan Allah. Juga, ketika Isa diangkat ke surga, ia menjadi seperti para malaikat, dengan terhentinya keinginan dan amarah dan moral yang tercela.
  6. Al-tawaffii berarti mengambil sesuatu sepenuhnya [waafiyan]. Karena Allah tahu bahwa sebagian orang akan mengira bahwa yang diangkat Allah adalah roh Isa, bukan tubuhnya, Ia menyebutkan firman itu untuk membuktikan bahwa Isa a.s. diangkat dalam keseluruhannya [bi-tamaamihi] ke surga, baik rohnya maupun tubuhnya …
  7. “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika],” adalah: Aku akan membuatmu seperti orang yang wafat [ka-l-mutawaffii]. Sebab jika seseorang diangkat ke surga dan setiap jejaknya terhapus dari bumi, maka ia seperti orang yang wafat. Menyebut suatu hal dengan nama dari sesuatu yang menyerupainya dalam kebanyakan ciri dan atributnya adalah diperbolehkan dan baik.
  8. Al-tawaffii berarti mengambil [al-qab¼]. Orang biasa berkata “Si Polan membayar kembali [waffaanii] uangku dan membayar kembali kepadaku sepenuhnya [awfaanii], dan aku menariknya [tawaffaytuhaa] dari dia…
  9. Ungkapan ini eliptikal, menghilangkan kata yang tersirat: “‘mewafatkan’ amalmu” dalam arti menerima amalmu sepenuhnya, dan “mengangkatmu kepada-Ku” dalam arti mengangkat amalmu kepada-Mu … Yang dimaksud ayat ini adalah: Allah swt. memberitahu Isa bahwa Ia menerima ketaatan dan amalnya…

Inilah daftar lengkap pengertian berbeda yang ditafsirkan dari ayat ini oleh mereka yang memandangnya menurut pengertian yang lahiriah dan nyata [ÿalaa ýaahirihaa].[16]

            Al-RªzÌ jelas-jelas menganggap semua yang di atas sebagai pilihan sah bagi tafsiran dalam komunitas Muslim. Di antaranya terdapat beberapa pilihan yang telah kita lihat sebelumnya, seperti:

  1. Kematian dan kebangkitan sungguhan dan benaran (#2 di atas), dan
  2. wafaat=qab¼ (#8 di atas).

Ada juga beberapa pilihan menarik yang tidak kita lihat sebelumnya, seperti:

  1. menuntaskan masa hidupmu (#1 di atas),
    1. agnostisisme tentang kapan dan bagaimana terjadinya ‘wafat’ dan pengangkatan (#4 di atas),
    1. mengambil tubuh dan jiwa sepenuhnya (#6 di atas), dan
    1. tafsiran Sufi dari al-WªsiðÌ bahwa yang dimaksud adalah kematian terhadap diri dan keinginan jasmani (#5 di atas).

Setelah meninjau pilihan-pilihan bagi tafsiran menurut “pengertian lahiriah” itu, sesuai janjinya al-RªzÌ kembali kepada teori kronologi yang termodifikasi [taqdiim wa-ta’khiir]. Ia mengakui bahwa kata “dan” [wa, bukan fa] tidak harus menyiratkan urutan kronologis. Tetapi ia mempertanyakan perlunya memberlakukan transposisi kronologis apabila nas dapat mudah dipahami secara langsung menurut pengertiannya yang alami dan lahiriah [al-ýaahir]. Ia menyimpulkan:

Perhatikan bahwa banyaknya kemungkinan tafsiran yang kami sajikan membuat perpisahan dari pengertian lahiriah tidak diperlukan. Tetapi Allah maha mengetahui![17]

Al-RªzÌ juga memberi banyak ruang untuk teori penggantian dalam hubungan dengan Aali ’Imraan (3):55 dan an Nisaa‘ (4):157. Tampaknya ia merasa bahwa suatu penggantian adalah cara paling alami untuk memahami an Nisaa‘ (4):157[18] (“Mereka tidak membunuhnya, dan mereka tidak menyalibnya, tetapi hal itu dibuat tampak demikian bagi mereka [syubbiha lahum].” Tetapi ia berpikir bahwa teori penggantian harus menjawab beberapa keberatan tata bahasa dan teologis yang cukup serius.

Dalam ulasannya mengenai an Nisaa‘ (4):157, Al-RªzÌ menyajikan keberatan-keberatan tata bahasa sebagai berikut:

Apakah subjek dari kata kerja syubbiha? Kalau Anda berkata bahwa subjeknya adalah Al Masih, [hal ini tidak mungkin karena] ia tidak dianggap dibuat menyerupai orang lain: orang lainlah yang dibuat menyerupai dia! [huwa al-musyabbah bi-hii wa-laysa bi-musyabbah] Dan jika Anda berkata bahwa subjeknya adalah orang yang dibunuh, [hal ini tidak kena] karena [dalam nas] tidak disebutkan tentang orang yang dibunuh [sehingga orang itu tidak dapat berfungsi sebagai anteseden bagi kata kerja syubbiha].

Ada dua kemungkinan jawaban:

  1. Yang dirujuk kata kerja itu adalah kata depan dan objek kata depan itu [al-jaarr wa-l-majruur, yakni istilah “lahum”]. Ini seperti ungkapan umum “khuyyila ilayhi” (“ia mengkhayalkan,” atau “tampak baginya”). Jadi, seolah-olah nas berkata “[Mereka tidak membunuhnya, dan mereka tidak menyalibkannya,] tetapi kebingungan melanda mereka.”
  2. Subjek kata kerja itu adalah kata ganti [yang tak dinyatakan] yang merujuk kepada orang yang dibunuh, karena firman Allah “mereka tidak membunuhnya” mengisyaratkan bahwa pembunuhan terjadi kepada orang lain, dan bahwa orang lain itu “disebutkan” dengan cara demikian. Jadi, adalah sah menjadikan orang itu subjek dari syubbiha.[19]

Patut diperhatikan bahwa meskipun jawaban #2 di atas mensyaratkan terjadinya suatu penggantian, jawaban #1 tidak. Jawaban #1 memandang syubbiha sebagai suatu kata kerja pasif impersonal yang hanya berarti: “hal itu tampak demikian bagi mereka” atau “hal itu kabur/meragukan bagi mereka.”

            Melanjutkan ulasannya mengenai an Nisaa‘ (4):157, Al-RªzÌ kemudian menyajikan keberatan teologisnya yang utama terhadap teori penggantian dan upaya-upaya untuk menjawabnya:[20]

Kalau diperbolehkan untuk berkata bahwa Allah swt. memberikan penampilan orang yang satu kepada yang lain, hal itu akan membukakan pintu bagi cara berpikir yang tidak masuk akal. Sebab jika saya melihat Zayd, mungkin saja dia sebenarnya bukan Zayd, tetapi penampilan Zayd telah diberikan kepada orang itu! Kalau begitu, baik pernikahan, perceraian, maupun barang milik tidak bisa terus ada dan diandalkan. Itu juga akan mengakibatkan diragukannya ide penerusan laporan [al-tawaatur] bersejarah yang sesungguhnya, karena suatu riwayat yang diteruskan secara historis hanya dapat menyumbang kepada pengetahuan dengan syarat sumber puncaknya dapat ditangkap indra [maÊsuus]. Kalau kita izinkan kebingungan semacam itu terjadi dalam hal-hal yang dapat ditangkap indra, maka hal ini akan mendiskreditkan penerusan laporan bersejarah, dan itu akan membuat semua hukum [sharaa’iÿ] harus diragukan. Orang tidak dapat menjawab keberatan ini dengan berkata bahwa hal-hal semacam itu hanya terjadi pada zaman para nabi a.s.; sebab kami berkata bahwa sekiranya yang Anda katakan itu benar, maka hal itu hanya dapat diketahui lewat fakta dan bukti. Siapa pun yang tidak mengetahui fakta dan bukti itu tidak dapat menyatakan apa pun secara pasti berdasarkan hal-hal yang dapat ditangkap indra. Ia juga tidak dapat bergantung kepada riwayat apa pun yang diteruskan secara historis. Selanjutnya, kalaupun dalam zaman kita mukjizat [muÿjizaat] kenabian terblokir, jalan karaamaat [tanda-tanda ajaib yang menunjukkan kemurahan ilahi] masih terbuka. Jadi, kemungkinan yang sudah disebutkan di atas masih ada dalam segala zaman. Pendeknya: membukakan pintu ini akan harus mendiskreditkan penerusan laporan bersejarah yang sesungguhnya. Dan mendiskreditkan hal itu akan harus mendiskreditkan kenabian semua nabi a.s. Jadi, cabang ini akan harus mendiskreditkan akarnya. Dan itu harus ditolak.

Jawabannya: Berbagai sekolah pemikiran di kalangan para sarjana [madhaahib al-ÿulamaa’] berselisih paham mengenai situasi ini. Mereka menyebutkan beberapa tafsiran yang berbeda:

[Di sini al-RªzÌ mendaftarkan lima versi teori penggantian yang diketahuinya:

  1. Orang Yahudi sengaja menyalibkan orang lain dan berdusta mengenainya,
  2. Seorang pria bernama £Ìðªyus dikirim oleh “Yudas kepala orang Yahudi” untuk membunuh Isa, tetapi Allah membuat £Ìðªyus tampak seperti Isa, dan ia disalibkan sebagai gantinya,
  3. Orang yang ditugaskan menjaga Isa dibuat terlihat seperti Isa dan disalibkan sebagai gantinya,
  4. Isa meminta seorang relawan dari kedua belas muridnya, dan satu orang merelakan diri lalu dibuat terlihat seperti Isa dan disalibkan,
  5. Seorang murid munafik yang berniat mengkhianati Isa dibuat terlihat seperti Isa dan disalibkan.

Al-Rªzi mengikhtisarkan pendapatnya tentang jawaban-jawaban terhadap keberatan itu dalam perkataan berikut:]

Tafsiran-tafsiran ini saling bertentangan dan tidak bersesuaian. Allah maha mengetahui apa fakta-fakta tentang persoalan ini![21]

            Dari semua juru ulas yang diketengahkan dalam makalah ini, Fakhr al-DÌn al-Rªzi memiliki analisis yang paling rinci, akurat, dan menarik terhadap kepercayaan orang Kristen timur tentang kematian dan kebangkitan Kristus. Baik analisisnya terhadap kepercayaan-kepercayaan Kristen maupun ulasan-ulasannya sendiri mengenai kepercayaan-kepercayaan itu patut dikutip panjang lebar. Dalam diskusinya mengenai an Nisaa‘ (4):157, segera setelah diskusi di atas, ia mendiskusikan pernyataan ayat ini bahwa “mereka yang berselisih paham tentang hal itu [penyaliban] memang dalam keraguan mengenainya.” Ia menimbang apakah ini merujuk kepada orang Yahudi atau orang Kristen, dan ia mengatakan yang berikut tentang orang Kristen:

Semua kelompok Nasrani setuju bahwa orang Yahudi membunuh dia, tetapi pengelompokan kaum Nasrani yang terbesar ada tiga: orang Nestorian, orang Melkit,[22] dan orang Yakubit.[23]

Mengenai orang Nestorian, mereka mengklaim bahwa Al Masih disalibkan dalam kaitan dengan kemanusiaannya, bukan dengan keilahiannya.

Pandangan kebanyakan filsuf [Êukamaa’] dekat dengan pernyataan itu. Mereka berkata: Karena sudah terbukti bahwa manusia tidak sama dengan bait ini [badan ragawi], tetapi entah suatu intisari mulia [jism] ditumpahkan ke dalam badan [badan] ini atau suatu intisari rohani/ilahi [jawhar ruuÊaanii] telanjang dalam zatnya [dhat] dan menjalankan urusan-urusannya dalam badan [badan] ini. Jadi, pembunuhan terjadi kepada bait ini. Mengenai jiwa–yang sesungguhnya adalah Isa a.s.–pembunuhan tidak terjadi kepadanya.

Orang tidak boleh berkata, “Setiap manusia seperti itu, jadi apa artinya perbedaan itu?” Sebab kami berkata bahwa jiwa Isa itu suci, luhur, surgawi, sangat terang [ishraaq] dengan cahaya ilahi [al-anwaar al-ilaahiyya], besar kedekatannya dengan roh para malaikat. Dan kalau jiwa seperti itu, deritanya karena kematian dan kebinasaan badan [badan] tidaklah besar. Setelah jiwa terpisah dari bayang-bayang badan, jiwa akan meloloskan diri ke bentangan luas langit dan cahaya dunia yang mulia. Sukacita dan kebahagiaannya akan besar di sana. Dan sudah diketahui bahwa keadaan-keadaan ini tidak terjadi kepada semua orang. Sejak awal penciptaan Adam a.s. sampai tibanya Hari Kiamat, semua itu hanya terjadi kepada sedikit orang. Inilah makna penting membedakan Isa a.s. secara demikian.

Mengenai kaum Melkit, mereka berkata: pembunuhan dan penyaliban terjadi kepada [waîalaa ilaa] yang ilahi dalam indra dan perasaan, bukan dalam pengalaman langsung [bi-l-mubaashara].

Dan kaum Yakubit berkata: pembunuhan dan penyaliban terjadi kepada Al Masih, yang adalah suatu intisari yang dihasilkan dari dua intisari [jawhar mutawallid min jawharayn].

Itulah penjelasan pengajaran orang Nasrani tentang pokok bahasan ini.[24]

Dalam sebuah artikel di tahun 1980, Mahmoud Ayoub mengusulkan bahwa ulasan-ulasan al-RªzÌ di sini adalah contoh menonjol dari apa yang disebutnya “semangat konsiliasi dan pencarian makna Qurani yang melampaui fakta-fakta sejarah belaka.”[25] Ia menambahkan:

Pernyataan [Al-RªzÌ] beranjak jauh untuk menjumpai tantangan Qurani tentang Isa Al Masih. Pernyataannya juga memberi suatu titik awal yang baik bagi pemahaman Muslim-Kristen.[26]

Secara sambil lalu, usulan al-RªzÌ bahwa Yesus memiliki dua sifat– rohani/surgawi [ruuÊaanii] dan jasmani/duniawi [badanii] bukanlah semata-mata temuan belakangan yang bersifat Yunani dan tak berakar di ranah Islami yang otentik. Bibit ide tersebut dapat ditemukan pada Ibn Isʪq–penulis paling awal dari riwayat Muhammad yang sebelumnya dirujuk al-RªzÌ. Ibn Isʪq menulis bahwa setelah Yesus menyuruh para muridnya membawa titah-titah Allah ke seluruh dunia,

Maka Allah mengangkat dia kepada-Nya dan mendandaninya dengan bulu-bulu unggas dan menyelubungi dia dengan cahaya dan melenyapkan keinginannya untuk makan dan minum, sehingga ia terbang di antara para malaikat, dan ia ada dengan mereka di sekitar takhta. Ia bersifat manusia dan malaikat, surgawi dan duniawi.[27]

Al-QurthubÌ

Abñ ÿAbd Allªh al-QurðubÌ (meninggal 671/1272) adalah penulis salah satu ulasan Quran yang paling dihormati dalam tradisi tafsiir bi-l-ma’thuur.[28] Al-QurðubÌ melaporkan banyak tradisi yang diketahui ath-Thabari, dan juga beberapa tradisi yang tidak diketahui pendahulunya itu. Tetapi berbeda dengan ath-Thabari, al-QurðubÌ hanya memberikan sedikit isnad yang lengkap, dan berfokus saja kepada isi [matn] tradisi-tradisi itu. Selanjutnya, meskipun ia menentang tafsiir bi-l-ra’y,[29]kita akan melihat di bawah bahwa ia tidak ragu berargumen membela satu tafsiran di atas tafsiran lain berdasarkan akal, bukan berdasarkan kemantapan isnad.

Al-QurðubÌ mengetahui tradisi-tradisi yang mendukung beberapa macam teori takwil, termasuk yang berikut:

  1. pengurutan tidak kronologis [taqdiim wa-ta’khiir],
  2. mengambil [qab¼] dari bumi ke surga,
  3. kematian dan kebangkitan benaran,
  4. tidur, dan
  5. penggantian.

Ia tidak menyukai teori bahwa Yesus benar-benar mati dan bangkit karena menganggap hal itu mengemukakan kesulitan logika tertentu bagi tradisi-tradisi tentang kembalinya Yesus di akhir zaman untuk membunuh Dajal. Meskipun begitu, al-QurðubÌ merasa wajib melaporkannya sebagai salah satu pilihan yang didukung oleh beberapa orang dalam komunitas Muslim dengan dasar hadis.

Jadi, ketika mengulas Aal ’Imraan (3):55, Al-QurðubÌ mendaftarkan yang berikut sebagai teori-teori yang memiliki dukungan dalam tradisi:

  1. Sekelompok ahli takwil [ahl al-maÿaanii] (termasuk al-DaÊʪk dan al-Farrª’) berbicara tentang firman Allah swt. “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika] dan mengangkatmu kepada-Ku,” dalam kaitan dengan peralihan kronologis [taqdiim wa-takhiir] karena kata “dan”tidak harus menyiratkan urutan kronologis [rutba]. Jadi, maknanya adalah: Aku mengangkatmu kepada-Ku dan menyucikanmu dari orang-orang kafir, dan Aku akan mewafatkanmu [mutawaffika] setelah engkau turun dari surga…
  2. Al-asan dan Ibn Jurayj berkata bahwa arti “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika]” adalah: Aku mengambilmu [qaabi¼uka] dan mengangkatmu ke surga tanpa kematian, seperti ungkapan “Aku telah menarik sepenuhnya [tawaffaytu] uangku dari si Polan,” yakni aku telah mengambilnya.
  3. Wahb ibn Munabbih berkata, “Allah mewafatkan [tawaffª] Isa a.s. selama tiga jam pada satu hari, kemudian mengkangkatnya ke surga. Ada kesulitan [buÿd] tentang hal ini, sebab ada laporan [akhbªr] yang mantap dari Nabi saw. tentang kembalinya Isa untuk membunuh Dajal. Lihat apa yang kami tunjukkan dalam buku kami, Al-Tadhkira, dan dalam bahan terdahulu dan terkemudian buku ini.
  4. Ibn Zayd berkata, “Mewafatkanmu’ [mutawaffiika] berarti mengambilmu [qaabi¼uka]: ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika]’ dan ‘mengangkatmu’ adalah sama. Ia belum mati.
  5. Ibn £alÊa menuturkan dari Ibn ÿAbbªs: “Arti ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika]’ adalah membuatmu mati [mumiituka] benar-benar.
  6. Al-RabÌÿ ibn Anas: “Itu adalah ‘wafat’ [wafaat] tidur.” Allah swt. berfirman, “Dialah yang mewafatkanmu [tawaffaa] pada waktu malam,” yakni, membuat engkau tidur karena tidur adalah saudara dari kematian. Seperti sabda Nabi saw. ketika ditanyakan kepadanya apakah ada tidur di firdaus: “Tidak: tidur adalah saudara dari kematian, dan tidak ada kematian di firdaus.” Ini dikemukakan oleh al-DªraquðnÌ.
  7. Adalah sahih [îaÊiiÊ] bahwa Allah swt. mengangkatnya tanpa wafat [wafaat] atau tidur, seperti dikatakan al-asan dan Ibn Zayd. Inilah pilihan ath-Thabari, dan ini laporan yang sahih [îaÊiiÊ] dari Ibn ÿAbbªs, dan al-ˆaÊʪk mengatakannya. Al-ˆaÊʪk berkata, “Ceritanya adalah: ketika orang Yahudi ingin membunuh Isa, para murid [Êawaariyyuun] berkumpul dalam sebuah kamar (mereka ada dua belas orang), dan Al Masih masuk ke kamar itu lewat ceruk tempat pelita. Iblis memberitahu orang Yahudi, dan 4.000 orang dari mereka berkuda ke sana dan mengepung pintu kamar itu. Al Masih bersabda kepada para murid, “Siapa dari kamu yang mau keluar dan dibunuh dan menyertai aku di firdaus? Satu orang berkata, “Saya, wahai nabi Allah.” Jadi, ia mengenakan tunik bulu domba dan serban bulu domba, dan ia memberinya tongkatnya dan memberikan penampilan Isa. Kemudian ia keluar menemui orang Yahudi, dan mereka membunuh dia dan menyalibkan dia. Mengenai Al Masih, Allah mendandaninya dengan bulu-bulu unggas, dan menyelubungi dia dengan cahaya, dan melenyapkan darinya keinginan untuk makan dan minum, dan ia terbang bersama para malaikat.[30]
  8. [Pilihan Al-QurðubÌ yang kedelapan adalah kisah penggantian seperti # 7 di atas, tetapi dengan rincian yang berbeda.][31]

Jadi, al-QurðubÌ melaporkan lima teori tafsiran yang berbeda yang telah beredar dalam komunitas Muslim: pengurutan tidak kronologis (#1 di atas), “wafaat=qab¼” (#2 dan #4 di atas), kematian dan kebangkitan benaran (#3 dan #5 di atas), “wafaat=tidur” (#6 di atas), dan penggantian (#7 dan #8 di atas).

Hanya dalam pilihan #8 al-QurðubÌ memberikan isnad penuh, bukan sekadar menyebutkan nama orang kepada siapa pilihan itu diatributkan. Menimbang hal itu, dan menimbang bahwa ia memberi lebih banyak ruang untuk pilihan #7 dan #8 daripada pilihan-pilihan lain, nyatalah bahwa al-QurðubÌ lebih menyukai teori penggantian. Dalam ulasannya mengenai an Nisaa‘ (4):157, ia menyebut lagi teori pengantian secara amat ringkas dan merujukkan pembaca kepada ulasan-ulasan mengenai Aali ’Imraan (3):55 yang baru saja kita lihat. Meskipun lebih menyukai teori penggantian, al-QurðubÌ mengakui bahwa teori-teori lain pun memiliki dukungan yang sah dalam komunitas Muslim.

Ketika mengulas al Maa-idah (5):117, al-QurðubÌ mencatat lagi teori kematian dan kebangkitan benaran (ia menggunakan kata ambigu wafaat tetapi konteksnya menjelaskan bahwa yang dimaksudnya adalah kematian benaran). Seperti dalam Aali ’Imraan di atas, bahkan ketika ia merasa wajib melaporkan berkanjangnya teori ini, ia sendiri mengajukan keberatan terhadapnya karena berpikir bahwa itu tidak konsisten secara logika dengan kepercayaan bahwa Yesus akan kembali pada akhir zaman untuk membunuh Dajal. Ia menulis:

“Ketika Engkau ‘mewafatkan’ [tawaffaitanii] aku, Engkaulah Pengawas mereka”: Telah dikatakan bahwa hal ini membuktikan bahwa Allah swt. mewafatkannya [tawaffaahu] sebelum mengangkatnya. Tetapi tidak ada buktinya laporan-laporan [akhbªr] jelas menunjukkan bahwa ia diangkat, dan bahwa ia hidup di surga, dan bahwa ia akan kembali dan akan membunuh Dajal, berdasarkan apa yang jelas-jelas ditunjukkan. Sebaliknya, artinya adalah “Ketika Engkau mengangkat aku ke surga.” Al-asan berkata, “Kata wafaat digunakan dalam Kitab Allah menurut tiga pengertian:

  1. wafaat yang berarti kematian [mawt] benaran, yang muncul dalam firman Allah swt.: “Allah mewafatkan [yatawaffª] jiwa ketika matinya [mawt], artinya “pada ajal [ajal] mereka”; dan
  2. wafaat yang berarti tidur, seperti ketika Allah swt. berfirman “Dialah yang ‘mewafatkanmu’ [yatawaffªkum] pada waktu malam, artinya “membuatmu tidur”; dan
  3. wafaat yang berarti mengangkat, seperti ketika Allah swt. berfirman, “Hai Isa, Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika].[32]

Al-Bay¼ªwÌ

            Makalah ini tidak menyelidiki ulasan al-ZamakhsharÌ, yang mengaitkan pengetahuan filologi dan tata bahasa yang cemerlang dengan tafsiran Al Quran. Alasannya adalah karena kita sedang berfokus pada ulasan-ulasan Suni arus utama. Meskipun para penulis “ortodoks” (Ashÿarit) Suni terkemudian menyatakan kekaguman atas kesarjanaan linguistik al-ZamakhsharÌ, mereka juga menyatakan peringatan keras terhadap caranya menggunakan Al Quran untuk berargumen “demi kepentingan doktrin-doktrin Muÿtazila yang jahat itu.”[33]

Meskipun begitu, ide-ide al-ZamakhsharÌ (kalau dibersihkan dari kebanyakan Muÿtazilismenya) dapat ditemukan dalam ulasan Nªîir al-DÌn Abñ SaÿÌd ÿAbd Allªh Al-Bay¼ªwÌ (meninggal 685/1286 atau 691/1291). Ulasan Al-Bay¼ªwÌ, yang “secara luas merupakan edisi peringkasan dan perubahan dari Kashshaaf  al-ZamakhsharÌ,”[34] lebih dikenal dan lebih luas dibaca orang Muslim hari ini karena ukurannya yang praktis, dan karena menolak pandangan-pandangan Muÿtazilit al-ZamakhsharÌ. Namun, akan keliru kalau disiratkan bahwa al-Bay¼awÌ hanya mengerjakan ulang Kashshaaf itu. Al-Bay¼ªwÌ jelas akrab pula dengan ulasan-ulasan utama lainnya yang telah mendahului ulasannya. Ulasan Al-Bay¼ªwÌ pastinya termasuk yang paling populer dan terpercaya di dunia hari ini.

            Mengikuti karyanya yang bergaya ringkas dan seperti-buku-pedoman, al-Bay¼ªwÌ sering kali hanya mendaftarkan segala macam tafsiran yang sah dari ayat tertentu, tanpa menunjukkan asal usul pilihan-pilihan yang ada atau mana pilihan yang lebih disukainya. Demikianlah kasusnya dengan ulasan-ulasannya mengenai Aali ’Imraan (3):55:[35]

“Hai Isa, Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika].” Artinya,

  1. menuntaskan masa hidupmu dan membawamu ke akhir yang ditentukan bagi masa hidupmu, melindungimu dari pembunuhan mereka, atau
  2. mengambilmu [qaabi¼uka] dari bumi, seperti dalam ungkapan “Aku menarik [tawaffaytu] uangku,” atau
  3. ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika] dalam keadaan tidur, karena diriwayatkan [ruwiya] bahwa Ia mengangkatnya dalam keadaan tidur, atau
  4. membuatmu mati [mumiituka] terhadap keinginan-keinginan yang merintangimu untuk naik ke alam surgawi,
  5. dan dikatakan bahwa Allah benar-benar membuatnya mati [amaatahu] selama tujuh jam dan kemudian [thumma] mengangkatnya ke surga. Dan inilah pandangan orang Nasrani.[36]

Jadi, sebagai tafsiran yang sah didaftarkannya beberapa teori yang telah kita lihat:   1) menuntaskan masa hidupmu, 2) wafaat=qab¼, 3) tidur, 4) kematian terhadap keinginan-keinginan duniawi, dan 5) kematian dan kebangkitan sungguhan dan benaran.

Mengenai al Maa-idah (5):117, al-Bay¼ªwÌ mengulas:

“Ketika Engkau ‘mewafatkan’ [tawaffaitanii] aku,” yakni dengan mengangkat ke surga, sesuai dengan firman-Nya “Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika] dan mengangkatmu.” Kata kerja tawaffaa artinya mengambil sesuatu sepenuhnya [waafiyan], dan kematian [al-mawt] adalah satu contoh dari hal itu. Allah swt. berfirman: “Allah ‘mewafatkan’ jiwa [yatawaffaa al-anfus] ketika matinya [mawt], dan yang belum mati dalam tidurnya.”[37]

Dalam diskusinya mengenai an Nisaa‘ (4):157, al-Bay¼ªwÌ juga menyebutkan suatu kaum [qawm] (konteksnya mengusulkan bahwa mereka orang Kristen atau Yahudi, bukan Muslim) yang memegang pandangan bahwa “tabiat manusianya [naasuut] disalibkan dan tabiat ilahinya [laahuut] naik.”[38]

Al-Bay¼ªwÌ juga mengetahui teori penggantian dan tradisi-tradisi yang mendukungnya. Dalam ulasan-ulasannya mengenai an Nisaa‘ (4):157, ia melaporkan dua versi teori penggantian: 1) Yesus meminta seorang relawan dari antara muridnya untuk menggantikannya ketika ia tahu bahwa orang Yahudi datang untuk membunuhnya sebagai balas dendam karena Allah telah mengubah sekelompok orang Yahudi pencaci maki jadi kera dan babi, atau 2) seorang Yahudi bernama £Ìðªnus menjadi korban. Sebagai tambahan bagi dua versi kisah penggantian itu, Al-Bay¼ªwÌ menambahkan bahwa ia tahu kisah-kisah tentang “keajaiban [khawaariq] luar biasa serupa yang tidak akan mustahil [laa tustabÿadu] di zaman para nabi.”[39]

Meskipun begitu, al-Bay¼ªwÌ mengangkat dua masalah serius dalam teori penggantian. Masalah pertama adalah masalah teologis, berkaitan dengan bagaimana orang bisa secara pantas mempredikatkan penipuan sebagai suatu atribut Allah; dan masalah kedua adalah masalah tata bahasa, berkaitan dengan kebingungan para juru ulas terhadap subjek kata kerja pasif syubbiha.

Ketika mengulas Aali ’Imraan (3):54, al-Bay¼ªwÌ berargumen sebagai berikut:

Penipuan [al-makr], sejauh hal itu (pada akarnya) merupakan tipu muslihat yang mendatangkan celaka kepada orang lain, tidak dapat dipredikatkan kepada Allah [laa yusnadu ilaa Allaah] swt., kecuali dalam hal ganjaran dan balasan [al-muqaabala wa-l-izdiwaaj].[40]

Karena alasan itu al-Bay¼ªwÌ berpikir bahwa teori penggantian apa pun, supaya bisa masuk akal, harus beranggapan bahwa orang yang disalibkan itu sendiri bersalah karena “berusaha membunuh Isa [qaîada ightiyaalahu].”[41] Tentu saja keberatan ini tidak menuntut al-Bay¼ªwÌ untuk menolak teori penggantian begitu saja, tetapi ini memang menyiratkan penolakan terhadap mayoritas besar versi-versi tradisional dari teori itu (termasuk yang isnadnya relatif lebih kuat), di mana seorang yang tak bersalah (salah seorang murid Yesus, atau Sergius, atau Simon dari Kirene, atau orang di jalan yang tak dikenal, dll.) disalibkan secara tidak adil akibat penipuan itu. Versi yang menyebutkan orang bersalah seperti Yudas Iskariot disalibkan punya dukungan yang relatif lemah dalam hadis.

            Secara sambil lalu Mahmoud Ayoub, yang “menulis dari dalam komunitas [Muslim],”[42] setuju dengan kritik teologis terhadap teori penggantian ini. Ia menambahkan:

Teori penggantian tidak akan berlaku, tak peduli apa pun bentuk atau tujuannya. Pertama, itu memperolok-olok keadilan ilahi dan perjanjian purba Allah dengan umat manusia, untuk menuntun sejarah manusia kepada penggenapan akhirnya.[43] Akan sesuaikah dengan perjanjian Allah, dengan rahmat dan keadilan-Nya, kalau Ia menipu umat manusia selama sekian banyak abad?[44]… Itu menjadikan kekristenan historis didasarkan atas penipuan ilahi yang tidak disingkapkan sampai Al Quran dinyatakan berabad-abad kemudian.[45]

Keberatan Al-Bay¼ªwÌ yang kedua terhadap teori penggantian adalah soal tata bahasa. Ketika mengulas an Nisaa‘ (4):157 (“hal itu dibuat tampak demikian bagi mereka” [syubbiha lahum]), setelah melaporkan dua versi kisah penggantian, ia berargumen:

Kata kerja syubbiha adalah suatu predikat yang merujuk kepada [musnad ilaa] kata depan dan objek kata depan itu [al-jaarr wa-l-majruur], seolah-olah dikatakan “kebingungan [tashbiih] melanda mereka untuk membedakan antara Isa dan orang yang dibunuh,” atau “kebingungan melanda mereka dalam perkara itu.” Ini sesuai dengan pernyataan orang-orang yang berkata bahwa “Tidak ada yang dibunuh, tetapi desas-desus palsu muncul dan tersebar di kalangan rakyat.”[46]

Di sini Al-Bay¼ªwÌ sedang menggemakan argumen tata bahasa yang sebelumnya dipakai al-ZamakhsharÌ,[47] dan argumen itu pada hakikatnya sama dengan keberatan tata bahasa yang diangkat al-RªzÌ. Al-ZamakhsharÌ berargumen menurut alur pemikiran berikut: Kata kerja syubbiha haruslah pasif impersonal. Kalau subjek dari kata kerja pasif ini adalah Yesus, maka itu berarti Yesus dibuat menyerupai orang lain. Tetapi itu menjadi kebalikan dari tuturan kisah-kisah penggantian: Yesus tidak dibuat menyerupai orang lain; orang lain dianggap dibuat menyerupai Yesus.[48] Dan subjek dari kata kerja pasif syubbiha tidak mungkin si pengganti yang dibunuh [al-maqtuul] itu, karena orang itu tidak disebutkan dalam Al Quran, jadi secara tata bahasa tidak mungkin berfungsi sebagai suatu subjek anteseden. Sebab itu syubbiha, sebagai predikat, haruslah merujuk kepada kata depan “bagi” dan objeknya “mereka” [lahum]. Syubbiha haruslah pasif impersonal yang berarti “mereka dibuat mengkhayalkannya,” atau “perkara itu dibuat tampak demikian bagi mereka,” atau “perkara itu dijadikan kabur/meragukan bagi mereka.” Pernyataan tata bahasa Al-Bay¼ªwÌ yang ringkas, yang dikutip di atas, adalah ringkasan dari argumen al-ZamakhsharÌ ini.

Ketika meninjau keberatan-keberatan tata bahasa dan teologis al-Bay¼ªwÌ terhadap teori penggantian, orang bertanya-tanya bagaimana “nada suara” atau nuansa yang dimaksudnya di balik pernyataannya bahwa kisah-kisah penggantian yang beragam dan berbeda itu menggambarkan “keajaiban luar biasa yang tidak akan mustahil dalam zaman para nabi” [al-khawaariq al-latii laa tustabÿadu fÌ zamaan al-nubuwwa]. Pastinya tindakan adikodrati semacam itu tidak mustahil: Allah sanggup melakukannya. Tetapi, ketika membaca kisah-kisah tentang Allah mengubah musuh-musuh bekebangsaan Yahudi jadi kera dan babi atau membuat tujuh belas murid terlihat dan terdengar sama seperti Yesus sementara Yesus terbang melalui lubang yang terbuka di sotoh, mungkin al-Bay¼ªwÌ bertanya-tanya apakah masuk akal bahwa Allah mau melakukan hal semacam itu, mengingat apa yang dikatakan Al Quran di tempat lain tentang karakter Allah. Editor karya Ath-Thabari tidak bimbang menyatakan bahwa sebagian dari hadis jenis ini adalah “dongeng” [asaaðiir] lancung.[49]

Sayyid Quðb

            Sayyid Quðb menulis ulasan Suni yang mungkin paling dikenal di abad kedua puluh. Ulasannya sangat berpengaruh meskipun (atau justru mungkin karena) sang pengarang kekurangan pelatihan teologis formal di al-Azhar. Sebagai seorang pemimpin Persaudaraan Muslim [al-Ikhwaan al-Muslimuun] yang dihukum mati oleh pemerintah Mesir di tahun 1966, jelas ia lebih peduli untuk membuktikan kesalahan-kesalahan kekristenan daripada berusaha mencari dasar teologis bersama dengan orang Kristen.[50] Ia bersemangat mencela “penuhanan” orang Kristen terhadap Yesus.

Namun, ketika sampai kepada penyaliban Yesus, ia bersikeras menganut agnostisisme. Pastinya bukan berarti ia siap mengatributkan makna penting penebusan apa pun kepada kematian dan kebangkitan Yesus, kalaupun hal-hal itu memang terjadi. Tetapi ia bersikeras bahwa pertanyaan bersejarah itu adalah pertanyaan terbuka, dan kita tidak bisa tahu pasti “kapan” atau “bagaimana” kematian dan kebangkitan Yesus terjadi.

Ketika mengambil kedudukan ini, ia menggemakan ulasan modern lainnya,  TafsÌr al-Manªr karya RashÌd Ri¼ª. RashÌd Ri¼ª menulis suatu polemik luas untuk membuktikan kesalahan pandangan teologis Kristen bahwa kematian dan kebangkitan Yesus menebus dosa-dosa dunia, mendamaikan keadilan ilahi dan rahmat ilahi. Bagaimanapun, jelas bahwa perdebatannya dengan orang Kristen adalah mengenai makna penting teologis yang diatributkan orang Kristen kepada penyaliban, bukan mengenai peristiwa sejarah itu sendiri. Jadi, ia menulis, “Fakta sesungguhnya dari penyaliban itu sendiri bukanlah perkara yang hendak diteguhkan atau disangkal Kitab Allah, selain dengan maksud menyatakan pembunuhan nabi-nabi secara tidak adil oleh orang Yahudi, dan mencela mereka karena tindakan tersebut.”[51]

Sayyid Quðb mengambil pandangan agnostik yang sama mengenai pertanyaan bersejarah tentang kapan dan bagaimana cara Yesus mati dan bangkit. Ketika mengulas Aali ’Imraan (3):55, ia menulis:

Mengenai bagaimana terjadinya “wafatnya” [wafaat], dan bagaimana terjadinya kebangkitannya, ini adalah perkara-perkara gaib [umuur ghaybiyya] yang masuk dalam kategori ayat-ayat tidak jelas [mutashaabihaat] yang takwilnya tidak diketahui siapa pun selain Allah. Tidak ada gunanya berusaha memahaminya secara mendalam, entah dalam doktrin atau hukum. Mereka yang mengejarnya dan menjadikannya perkara perdebatan akhirnya hanya akan terjerumus ke dalam keraguan dan kebingungan dan kerumitan, tanpa sampai kepada kepastian apa pun dalam kebenaran dan tanpa sanggup menenteramkan pikiran mereka dalam perkara yang harus diserahkan kepada pengetahuan Allah.[52]

            Ketika mengulas an Nisaa‘ (4):157, ia berkata bahwa “orang Yahudi berkata bahwa mereka membunuh dia … dan orang Nasrani berkata bahwa Isa disalibkan dan dikuburkan dan bangkit dari kematian setelah tiga hari, dan ‘sejarah’[53] berdiam diri tentang kelahiran Al Masih dan akhirnya.”[54] Sayyid Quðb berargumen bahwa hal-hal itu mustahil dipastikan.

            Mungkin di sinilah tempatnya untuk mencatat bahwa orang Yahudi hari ini pastinya tidak berkata bahwa mereka menyalibkan Yesus. Bukan karena mereka tidak menganggap Yesus mati di kayu salib, tetapi karena mereka akan berargumen (dan orang Kristen setuju) bahwa orang Romawilah, bukan orang Yahudi, yang menyalibkan Yesus.[55]

Sayyid Quðb kemudian meninjau riwayat-riwayat Perjanjian Baru tentang pokok bahasan itu sambil menggunakan istilah-istilah menarik “yarwii” (tuturan), “riwaaya” (riwayat), “khabar” (laporan),dan “tarjuÊu” (lebih mungkin, punya lebih banyak dukungan). Istilah-istilah ini juga dipakai para juru ulas klasik (lihat ath-Thabari di atas, misalnya) untuk merujuk kepada riwayat-riwayat tradisional Islam yang diatributkan kepada Nabi, Para Sahabat, dan Para Pengikut. Secara tersirat tampaknya ia memasukkan teks Perjanjian Baru dalam kategori hadis yang kebenarannya harus dinilai berdasarkan rantai penerusan laporan dari generasi para rasul.

            Ia meragukan kebenaran isnad riwayat-riwayat Perjanjian Baru dan menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang diterima dalam kanon orang Kristen dipilih untuk “alasan-alasan yang tidak bebas dari keraguan.”[56] Tetapi ia tidak sama sekali menolak riwayat-riwayat Perjanjian Baru sebagai sesuatu yang palsu. Ia juga menyebutkan kisah kontrasnya dalam “Injil Barnabas,”[57] tetapi tidak berupaya menilai apakah “Barnabas” merupakan riwayat yang dapat dipercayai. Maksud utama yang hendak digarisbawahinya ialah kesimpulan yang dinyatakannya dari perkara itu:

Jadi, sarjana tidak dapat menemukan laporan meyakinkan [khabar yaqiin] tentang peristiwa ini… mereka yang berselisih paham mengenainya pun tidak menemukan dukungan yang akan membuat riwayat [riwaaya] yang satu lebih masuk akal [yurajjiÊu] daripada riwayat [riwaaya] yang lain.[58]

            Ia kemudian berpaling kepada tafsirannya tentang pernyataan Quran dalam an Nisaa‘ (4):158 bahwa Allah “mengangkat” Yesus [rafaÿahu]:

Al Quran tidak memberikan rincian mengenai pengangkatan ini. Apakah ini pengangkatan tubuh dan roh dalam keadaan hidup? Atau apakah ini pengangkatan roh saja setelah wafat [wafaat]? Dan kapan wafat [wafaat] ini terjadi, dan di mana? Mereka tidak membunuh dia, dan mereka tidak menyalibkan dia. Sebaliknya, pembunuhan dan penyaliban terjadi kepada seseorang yang tidak jelas bagi mereka [man syubbiha lahum] tanpa dia. Al Quran tidak memberikan rincian lain di luar fakta ini, kecuali apa yang muncul dalam firman Allah swt., “Hai Isa, Aku ‘mewafatkanmu’ [mutawaffiika] dan mengangkatmu kepada-Ku.” Ayat ini, seperti ayat yang sedang kita diskusikan, tidak memberikan rincian tentang wafat [wafaat], atau tentang sifat ‘wafat’ [tawaffii] ini dan waktunya. Sejalan dengan metode kami, “dalam naungan Al Quran,”[59] kami tidak ingin keluar dari bawah naungan itu, atau mengembara dalam perkataan dan dongeng yang tidak kami miliki buktinya.[60]

            Dalam diskusinya mengenai al Maa-idah (5):117, Sayyid Quðb mengungkapkan agnostisisme lagi, tetapi tampaknya memberi kesan lebih jelas bahwa ia cenderung berpikir Yesus betul-betul mati dan bangkit. Ia menulis:

Makna lahiriah dan nyata [ýaahir] dari nas-nas Al Quran mengisyaratkan [yufiidu] bahwa Allah swt. mewafatkan [tawaffaa] Isa bin Maryam, dan kemudian [thumma] mengangkat dia kepada-Nya. Beberapa tradisi [al-aathaar] mengisyaratkan [tufiidu] bahwa ia hidup bersama Allah. Sejauh yang bisa saya lihat, tidak ada pertentanganan yang akan menimbulkan masalah antara ide bahwa Allah mewafatkannya [tawaffaahu] dari hidup di bumi dengan ide bahwa ia hidup bersama-Nya. Bagaimanapun, secara serupa para syahid mati di bumi dan hidup bersama Allah. Mengenai wujud hidup mereka bersama-Nya, kita tidak tahu soal “bagaimana”-nya [laa nadrii lahaa kayfan]. Secara serupa kita tidak tahu wujud apa yang diambil hidup Isa a.s.[61]

            Di sini Sayyid Quðb rupanya menyinggung perintah Al Quran dalam Al Baqarah (2):154: “Janganlah kamu katakan terhadap orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah, ‘Mereka mati.’ Bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadari.” (Wa laa taquuluu li may yuqtalu fii sabiilillaahi amwaatum bal ahyaa-uw walaakil laa tasy’uruun.) Dan dalam Aali ’Imraan (3):169: “Janganlah kamu anggap mati orang-orang yang gugur di jalan Allah. Bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya.” (Wa laa tahsabannal ladziina qutiluu fii sabilillaahi amwaatam bal ahyaa-un ’inda rabbihim.)

            Dalam ulasannya mengenai Maryam (19):33 Sayyid Quðb menulis:

Teksnya tegas [îariiÊ] di sini tentang kematian [mawt] dan kebangkitan [baÿth] Isa. Tidak ada ruang bagi takwil [ta’wiil] atau perdebatan.

Kesimpulan

Apakah Yesus (‘Isa Al Masih) mati di kayu salib dan kemudian bangkit dari kematian? Diskusi dan analisis terdahulu menunjukkan betapa luas dan beragamnya rentang jawaban terhadap pertanyaan ini yang secara historis dipandang memiliki dukungan sah dalam komunitas Muslim. Sepanjang abad tidak pernah hanya ada satu jawaban Islami tunggal yang “tepat” terhadap pertanyaan apakah Yesus mati di kayu salib. Ya, sebagaimana diperlihatkan oleh perenungan para juru ulas yang terpelajar dan bercakupan luas, ini bukan sekadar pertanyaan “ya atau tidak” sederhana. Di antara beragam jawaban yang diberikan orang Muslim selama berabad-abad, saya yakin ada lebih banyak ruang lagi untuk menemukan dasar bersama dengan orang Kristen daripada yang lazim disangka orang Muslim atau Kristen hari ini.

Daftar sebagian tafsiran yang kita temukan dalam ulasan-ulasan yang utama mencakup hal-hal berikut:

  1. teori penggantian,
  2. teori tidur (termasuk kehilangan kesadaran di kayu salib),
  3. wafaat=qab¼ (dengan berbagai tafsiran tentang apa yang Allah “ambil” dan kapan),
  4. transposisi kronologis, dengan kematian dan kebangkitan eskatologis,
  5. Allah “menuntaskan masa hidup duniawi Isa,”
  6. Allah “mengambil Isa sepenuhnya, tubuh dan jiwa,”
  7. agnostisisme tentang kapan dan bagaimana terjadinya kematian dan kebangkitan itu
  8. visi Sufi tentang kematian terhadap diri dan keinginan-keinginan jasmani,
  9. “Seperti para syahid, Isa mengalami kematian sungguhan, tetapi hidup bersama Allah,” dan
  10. kematian dan kebangkitan yang sungguhan dan benaran.

Tentu saja tidak semua tafsiran ini berdiri sendiri-sendiri. Sebagai contoh, orang mungkin memegang #3, #5, dan #6 secara berbarengan sebagai cara yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama.

Apa simpulan-simpulan hal ini bagi dialog Muslim-Kristen? Pilihan #10 tentu saja akan cepat dipandang memiliki dasar bersama dengan orang Kristen. Tetapi #3, #5, #6, dan #9 pun bisa dipahami dengan cara-cara yang mungkin menganjurkan dasar bersama. Semua itu bisa berfungsi sebagai titik-titik awal bagi dialog Muslim-Kristen tentang pertanyaan tersebut.

Harus diakui bahwa pilihan #10 – kematian dan kebangkitan sungguhan dan benaran– tidak harus menuntut kematian itu terjadi di kayu salib. Sebagai contoh, Allah mungkin saja mewafatkan Yesus dan mengangkat Yesus ke surga sebelum mengganti dengan orang lain yang kemudian disalibkan sebagai ganti Yesus.

Sebetulnya, beberapa sarjana Barat agaknya sudah menganggap jelas bahwa kematian ini tidak dapat dipahami terjadi di kayu salib, meskipun mereka memberikan sedikit bukti saja bagi anggapan itu. Sebagai contoh, Neal Robinson menulis, “Hampir pasti salah untuk menarik kesimpulan dari laporan-laporan ini [yakni dari hadis-hadis yang melaporkan kematian dan kebangkitan benaran] bahwa Allah mewafatkan Yesus di kayu salib [tekanan oleh Robinson].”[62] Secara serupa, Josef Henninger menulis bahwa para juru ulas Muslim “haben verschiedene Auswege ausgedacht: [z.b.:] Gott habe Jesus zwar vor dem Kreuztode bewahrt, aber eines natürlichen Todes sterben lassen und ihn dann nach kurzer Zeit, etwa nach einigen Stunden, wieder von den Toten erweckt.”[63] Roger Arnaldez membuat anggapan yang sama: “Selon d’autres exégètes, il s’agit bien d’une mort (mawt). [Arnaldez memberi sebagai contoh dua hadits yang mendukung kematian dan kebangkitan hurufiah] Ces traditions ne sont ici alléguées qu’en faveur de la thèse de la mort du Christ, précédent sa résurrection et son élévation au ciel. Évidemment, il n’est pas question pour les musulmans de la crucifixion.”[64]

Évidemment? Saya tidak setuju. Saya tidak melihat adanya bukti bahwa para juru ulas Muslim membuat anggapan yang sama. Ketika al-Bay¼ªwÌ memasukkan kemungkinan kematian dan kebangkitan benaran dalam daftarnya mengenai tafsiran sah untuk Aali ’Imraan (3):55, ia menambahkan (hampir seperti pikiran belakangan), “dan inilah pandangan orang Nasrani.”[65] Ia cukup berpengetahuan luas tentang kepercayaan-kepercayaan Kristen untuk tahu bahwa yang sedang disiratkannya adalah kemungkinan kematian di kayu salib dan kebangkitan setelahnya. Para juru ulas lain yang menyebutkan kematian dan kebangkitan sungguhan tidak merujuk terang-terangan kepada pandangan Kristen, tetapi konteks dan nada pernyataan mereka tampaknya menyiratkan bahwa mereka sedang berbicara tentang kematian di kayu salib, dan mereka pastinya tidak mengatakan apa-apa yang akan menyisihkan kayu salib sebagai tempat kematian benaran itu.

Sama menggelitiknya adalah eksplorasi tentatif Al-RªzÌ terhadap ide bahwa Yesus memiliki sifat duniawi yang mati di kayu salib dan sifat surgawi yang menderita kematian hanya karena persatuannya dengan sifat duniawi. Saya setuju dengan usulan Mahmoud Ayoub bahwa usaha konstruktif al-RªzÌ ini bisa menjadi titik awal yang luar biasa bagi diskusi antara orang Muslim dan Kristen.[66]

Dalam kasus mana pun seharusnya jelas bahwa ada banyak ruang untuk mengeksplorasi dasar bersama di dalam banyak pilihan tafsiran berbeda yang telah dilestarikan oleh tradisi ulasan Muslim selama berabad-abad. Warisan takwil yang kaya dan beragam ini mengundang kita untuk memulai eksplorasi itu.

Bibliografi

Anawati, G.C. “Fakhr al-DÌn al-RªzÌ,” dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua. Leiden, E.J. Brill, 1960- .

Arnaldez, Roger. Jésus : Fils de Marie, prophète de l’Islam. Paris : Desclée, 1980.

_______ “Al-ĶurðubÌ, Abñ ÿAbd Allªh,” dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua. Leiden, E.J. Brill, 1960- .

Ayoub, Mahmoud. “Towards an Islamic Christology: An Image of Jesus in Early ShÌÿÌ Muslim Literature,” dalam The Muslim World, vol. LXVI, No. 3. Hartford: The Hartford Seminary Foundation, Juli, 1976.

_______ “Towards an Islamic Christology, II: The Death of Jesus, Reality or Delusion (A Study of the Death of Jesus in TafsÌr Literature),” dalam The Muslim World, vol. LXX, No. 2. Hartford: The Hartford Seminary Foundation, April, 1980.

Al-Bay¼ªwÌ, Nªîir al-DÌn abñ SaÿÌd ÿAbd Allªh ibn ÿUmar ibn MuÊammad al-ShÌrªzÌ. TafsÌr al-Bay¼ªwÌ al-Musammª Anwªr al-TanzÌl wa-Asrªr al-Ta’wÌl. Beirut: Dªr al-Kutub al-ÿIlmiyya, 1988.

Charfi, Abdelmajid. “Christianity in the Qur’ªn Commentary of £abarÌ,” dalam Islamochristiana, vol. 6, hal. 105-148. Rome: PISAI, 1980.

Cragg, Kenneth. The Call of the Minaret (edisi kedua, direvisi dan diperluas). Ibadan: Daystar Press, 1985.

_______ Jesus and the Muslim: An Exploration. London: George Allen & Unwin, 1985.

Henninger, Josef. Spuren christlicher Glaubenswahrheiten im Koran. Schöneck, Switzerland: Administration der Neuen Zeitschrift für Missionswissenschaft, 1951.

JadÌd, Iskandar. Al-SalÌb fÌ al-InjÌl wa-l-Qur’ªn. Beirut: Markaz al-ShabÌba, n.d.

Jansen, J.J.G. “Sayyid Ķuðb,” dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua. Leiden, E.J. Brill, 1960- .

McAuliffe, Jane Dammen. Qur’ªnic Christians: An Analysis of Classical and Modern Exegesis. Cambridge: Cambridge University Press, 1991.

Muqªtil b. Sulaymªn. TafsÌr Muqªtil ibn Sulaymªn. ÿAbd Allªh MaÊmñd Shaʪteh (ed.). Kairo: al-Hay’a al-Miîriyya al-ÿmma li al-Kitªb, 1979.

Newby, Gordon Darnell (ed.). The Making of the Last Prophet : A Reconstruction of the Earliest Biography of Muhammad. Columbia, SC: University of South Carolina Press, 1989.

Paret, Rudi. Der Koran: Kommentar und Konkordanz. W. Kohlhammer Verlag, 1977 (4. Auflage – 1989).

Paret, Rudi. Der Koran: Übersetzung. Stuttgart: W. Kohlhammer Verlag, 1979  (7. Auflage – 1996).

Al-QurðubÌ, Abñ ÿAbd Allªh MuÊammad ibn AÊmad al-AnîªrÌ. Al-Jªmiÿ li-AÊkªm al-Qurªn. MuÊammad IbrªhÌm al-afnªwÌ (ed.). Kairo: Dar al-adÌth, 1994.

Räisänen Heikki, “The Portrait of Jesus in the Qur’ªn: Reflections of a Biblical Scholar,” dalam The Muslim World, vol. LXX, No. 2. Hartford: The Hartford Seminary Foundation, April, 1980.

Al-RªzÌ, MuÊammad Fakhr al-DÌn ibn al-ÿAllªma ˆiyª’ al-DÌn ÿUmar. TafsÌr  al-Fakhr al-RªzÌ, al-Mushtahir bi-l-TafsÌr al-KabÌr wa-MafªtÌÊ al-Ghaib. KhalÌl MuÊyÌ al-DÌn al-Mais (ed.). Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

Robson, J. “Al-Bay¼ªwÌ, ÿAbd Allªh,” in The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua. Leiden, E.J. Brill, 1960- .

Robinson, Neal. Christ in Islam and Christianity. Albany: State University of New York Press, 1991.

Sayyid Quðb, Ibrªhim usayn ShªdhilÌ. FÌ §ilªl al-Qur’ªn (ðabÿa jadÌda mashrñÿa tu¼amminu i¼ªfªt wa-tanqÌʪt taraka-hª al-mu’allif wa-tunsharu li-l-marra al-ñlª). Beirut: Dªr al-Mashriq, 1973.

Ath-Thabari, Abñ Jaÿfar MuÊammad ibn JarÌr. TafsÌr al-£abarÌ: Jªmiÿ al-Bayªn ÿan Ta’wÌl y al-Qur’ªn. SalªÊ ÿAbd al-FattªÊ al-KhªlidÌ (ed.). Damsyik: Dªr al-Qalam, 1997.

Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. J. Milton Cowan (ed. & penerjemah.), edisi ketiga. Ithaca: Spoken Language Services, 1976.

Zahniser, A.H. Mathias, “The Forms of Tawaffª in the Qur’ªn: A Contribution to Muslim-Christian Dialogue,” dalam The Muslim World, Vol. LXXIX, No. 1. Hartford: The Hartford Seminary Foundation, Januari, 1989.


[1] Iskandar Jadid, Al-SalÌb fÌ al-InjÌl wa-l-Qur’ªn (Beirut: Markaz al-ShabÌba, n.d.), hal. 5.

[2] Bdg. misalnya 1 Yohanes 3:16 atau Filipi 2:4-8.

[3] Kenneth Cragg, The Call of the Minaret, edisi kedua, direvisi dan diperluas (Ibadan: Daystar Press, 1985), hal. 224.

[4] Neal Robinson, Christ in Islam and Christianity (Albany: State University of New York Press, 1991), hal. 56-57 mengikhtisarkan pandangan Ikhwªn al-Safª sebagai berikut: “Kemanusiaan (naasuut) Yesus disalibkan, dan kedua tangan-Nya dipakukan ke kayu salib. Ia ditinggalkan di sana sepanjang hari, diberi minum anggur asam, dan ditikam dengan tombak. Ia diturunkan dari kayu salib, dibungkus kain kapan, dan dibaringkan dalam makam. Tiga hari kemudian ia menampakkan diri kepada para murid dan mereka mengenalinya. Ketika tersiar kabar bahwa ia tidak mati terbunuh, orang Yahudi membuka makam itu tetapi tidak menemukan jenazahnya (naasuut). Meskipun Persaudaraan Kemurnian menolak klaim orang Kristen tentang keilahian Kristus, mereka rupanya sudah bisa mempercayai kenyataan penyaliban.”

[5] Jane Dammen McAuliffe, Qur’ªnic Christians: An Analysis of Classical and Modern Exegesis (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), hal. 6.

[6] Robinson, op. cit., hal. 118.

[7] Rudi Paret, Der Koran: Übersetzung (Stuttgart: W. Kohlhammer Verlag, 1979 : 7. Auflage – 1996), hal. 47.

[8] Arnaldez, Roger, Jésus: Fils de Marie, prophète de l’Islam (Paris : Desclée, 1980), hal. 190-191.

[9] SalªÊ ÿAbd al-FattªÊ al-KhªlidÌ, Introduction to Abñ Jaÿfar MuÊammad ibn JarÌr Al-£abarÌ, TafsÌr al-£abarÌ: Jªmiÿ al-Bayªn ÿan Ta’wÌl y al-Qur’ªn (Damsyik: Dªr al-Qalam, 1997), vol. 1, hal. 6.

[10] Ibid., hal. 10-11.

[11] Abñ Jaÿfar MuÊammad ibn JarÌr Al-£abarÌ, TafsÌr al-£abarÌ: Jªmiÿ al-Bayªn ÿan Ta’wÌl y al-Qur’ªn, SalªÊ ÿAbd al-FattªÊ al-KhªlidÌ (ed.) (Damascus: Dªr al-Qalam, 1997), loc. cit.

[12] Ibid., loc. cit.

[13] McAuliffe, hal. 66 ctt. 151 bersikeras bahwa 1209 tidaklah tepat.

[14] Mahmoud Ayoub, “Towards an Islamic Christology, II: The Death of Jesus, Reality or Delusion (A Study of the Death of Jesus in TafsÌr Literature),” dalam The Muslim World, vol. LXX, No. 2 (Hartford: The Hartford Seminary Foundation, April, 1980), hal. 92.

[15] McAuliffe, p. 137.

[16] MuÊammad Fakhr al-DÌn ibn al-ÿAllªma ˆiyª’ al-DÌn ÿUmar Al-RªzÌ, TafsÌr  al-Fakhr al-RªzÌ, al-Mushtahir bi-l-TafsÌr al-KabÌr wa-MafªtÌÊ al-Ghaib, KhalÌl MuÊyÌ al-DÌn al-Mais (ed.) (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), loc. cit.

[17] Ibid.

[18] Dalam ulasannya mengenai Aali ’Imraan (3):55, ia berkata, “Nas Quran mengisyaratkan [yadullu ÿalaa] bahwa ketika Allah SWT mengangkat Isa, Ia memberikan penampilannya kepada orang lain.” Tetapi dalam ulasan mengenai an Nisaa‘ (4):157, seperti akan terlihat di bawah, tampaknya al-RªzÌ kurang yakin bahwa inilah cara terbaik untuk menafsirkan ayat itu.

[19] Al-RªzÌ, loc. cit.

[20] Ia mendaftarkan keberatan-keberatan lain dan upaya-upaya untuk menjawabnya dalam ulasannya mengenai Aali ’Imraan (3):55.

[21] Al-RªzÌ, loc. cit.

[22] Yakni mereka yang memegang ajaran gereja Bizantium yang resmi.

[23] Para penulis Muslim dari periode ini mengunakan istilah “Yakubit” sebagai suatu istilah penangkap-semua untuk menggambarkan semua gereja yang disebut “Monofisit,” bukan hanya gereja Siria yang setia kepada ajaran Yakub Baradeus.

[24] Al-RªzÌ, loc. cit.

[25] Mahmoud Ayoub, “Towards an Islamic Christology, II: The Death of Jesus, Reality or Delusion (A Study of the Death of Jesus in TafsÌr Literature),” dalam The Muslim World, vol. LXX, No. 2 (Hartford: The Hartford Seminary Foundation, April, 1980), hal. 105.

[26] Ibid.

[27] Gordon Darnell Newby (ed.), The Making of the Last Prophet : A Reconstruction of the Earliest Biography of Muhammad (Columbia : University of South Carolina Press, 1989), hal. 210.

[28] Dengan tegas ia menolak ide tafsiir bi-l-ra’y. Bdg. Roger Arnaldez, “Al-ĶurðubÌ, Abñ ÿAbd Allªh,”  dalam The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua. Leiden (E.J. Brill, 1960- ), hal. 513.

[29] Ibid.

[30] Perhatikan bahwa sebelumnya kita sudah melihat kalimat terakhir ini pada otoritas Ibn IsÊaaq (hal. 17 di atas), tetapi al-QurðubÌ (atau sumbernya) telah menghilangkan kesinambungan yang menyatakan bahwa Yesus bersifat “manusia dan malaikat, surgawi dan duniawi.”

[31] Abñ ÿAbd Allªh MuÊammad ibn AÊmad al-AnîªrÌ al-QurðubÌ, Al-Jªmiÿ li-AÊkªm al-Qurªn. MuÊammad IbrªhÌm al-afnªwÌ (ed.) (Kairo: Dar al-adÌth, 1994), loc. cit.

[32] Ibid., loc. cit.

[33] Kutipan dari Ibn Khaldñn ini, dikutip dalam McAuliffe, op. cit., hal. 52, adalah satu contoh di antara banyak peringatan serupa dari para penulis Suni.

[34] J. Robson, “Al-Bay¼ªwÌ,” in The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua (Leiden, E.J. Brill, 1960-).

[35] Saya menambahkan nomor-nomor dan penggalan alinea dalam kutipan ini.

[36] Nªîir al-DÌn abñ SaÿÌd ÿAbd Allªh ibn ÿUmar ibn MuÊammad al-ShÌrªzÌ al-Bay¼ªwÌ, TafsÌr al-Bay¼ªwÌ al-Musammª Anwªr al-TanzÌl wa-Asrªr al-Ta’wÌl (Beirut: Dªr al-Kutub al-ÿIlmiyya, 1988), loc. cit.

[37] Al-Bay¼ªwÌ, loc. cit. Rujukan Al Qurannya adalah az Zumar (39):42.

[38] Ibid., loc. cit.

[39] Ibid.

[40] Ibid.

[41] Ibid.

[42] Mahmoud Ayoub, 1980, hal. 91.

[43] Ayoub punya catatan kaki di sini: “S.  7:172; 2:38.”

[44] Ayoub, 1980, hal. 104.

[45] Ibid., hal. 97.

[46] Al-Bay¼ªwÌ, loc. cit.

[47] Mahmoud Ayoub, 1980, hal. 101. Di sini saya bergantung kepada Ayoub dalam hal ikhtisarnya tentang argumen tata bahasa al-ZamakhsharÌ.

[48] Bagaimanapun, saya mencatat bahwa itu akan sesuai dengan teori Yesus kehilangan kesadaran di kayu salib dan karenanya dibuat tampak seperti wafat. Itu juga akan sesuai dengan teori Yesus betul-betul wafat di kayu salib, tetapi wafatnya hanya tampak seperti akibat penyaliban, padahal sebetulnya Allah jugalah yang mewafatkannya. Dalam hubungan ini, perhatikanlah teologi al Anfaal (8):17: “Kamu tidak membunuh mereka, tetapi Allah yang membunuh mereka, dan engkau tidak melempar (tombakmu) ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar” [lam taqtuluuhum walaakinnallaaha qatalahum wa maa ramaita idz ramaita walaakinnallaaha ramaa].

[49] SalªÊ ÿAbd al-FattªÊ al-KhªlidÌ, Introduction to Abñ Jaÿfar MuÊammad ibn JarÌr Al-£abarÌ, TafsÌr al-£abarÌ: Jªmiÿ al-Bayªn ÿan Ta’wÌl y al-Qur’ªn (Damascus: Dªr al-Qalam, 1997), vol. 1, hal. 12 et passim.

[50] Saya telah menonton di video sejumlah ceramahnya yang dibaktikan untuk menyangkal “inÊiraafaat” orang Kristen dan Yahudi, yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap integritas Islam.

[51] Sayyid MuÊammad RashÌd Ri¼ª, TafsÌr al-Manªr (Kairo: Dªr al-Manªr, 1367), edisi kedua, VI, 18, dikutip dalam Mahmoud Ayoub (1980), op. cit., hal. 114.

[52] Ibrªhim usayn ShªdhilÌ Sayyid Quðb, FÌ §ilªl al-Qur’ªn: ðabÿa jadÌda mashrñÿa tu¼amminu i¼ªfªt wa-tanqÌʪt tarakahª al-mu’allif wa-tunsharu li-l-marra al-ñlª  (Beirut: Dªr al-Mashriq, 1973), loc. cit.

[53] Tanda-tanda kutip oleh Sayyid Quðb.

[54] Sayyid Quðb, ibid., loc. cit.

[55] Meskipun jelas dalam Perjanjian Baru bahwa orang Romawilah yang melakukan penyaliban, hal itu juga menyatakan bahwa agama maupun negara terlibat dalam tindakan tersebut, melalui pribadi imam-imam besar Hanas dan Kayafas serta gubernur Pontius Pilatus. Kebanyakan orang Kristen hari ini tidak akan memandangnya sebagai tuduhan terhadap orang Yahudi atau Italia sebagai kelompok etnis, tetapi, kalaupun ada, sebagai tuduhan terhadap sistem agama dan politik manusia secara umum. Orang Kristen juga akan memperhatikan pernyataan Yesus dalam Yohanes 10:18: “Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari [Allah].” Perjanjian Baru memahami Yesus menyerahkan nyawanya secara sukarela di kayu salib untuk menebus dosa-dosa dunia.

[56] Ibid.

[57] Mahmoud Ayyoub, dalam artikelnya di tahun 1980 (op. cit.) hal. 112, menjelaskan, “Barangkali ini karya terkemudian, ditulis di bawah pengaruh Islam.” Sebetulnya, hampir pasti “Injil Barnabas” pertama kali ditulis dalam bahasa Latin oleh seorang Kristen yang masuk agama Islam pada abad ke-14, dan “Injil” itu memuat kutipan dari Divine Comedy karya Dante, tetapi tinjauan terhadap bukti itu berada di luar lingkup makalah ini.

[58] Sayyid Quðb, op. cit.

[59] Inilah judul dari seluruh ulasan Sayyid Quðb.

[60] Sayyid Quðb, op. cit.

[61] Ibid., loc. cit. Catat bahwa Sayyid Quðb menuliskan perkataan tentang para syahid ini dalam pemenjaraan yang berakhir dengan hukuman matinya.

[62] Robinson, op. cit., p. 121.

[63] Josef Henninger, Spuren christlicher Glaubenswahrheiten im Koran (Schöneck, Switzerland: Administration der Neuen Zeitschrift für Missionswissenschaft, 1951), hal. 26.

[64] Arnaldez, op. cit., hal. 189.

[65] Al-Bay¼ªwÌ, loc. cit.

[66] Ayoub, 1980, hal. 105.